OPINI  

Indonesia: Lockdown, Please!

M. Aris Munandar, SH. (Dok/Pribadi)

Sulselpedia.com, Opini – Bumi kita hingga hari ini masih dirundung gelisah, galau dan merana karena pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang penyebarannya kian hari menunjukkan eskalasi. Banyak faktor yang memicu sehingga persebaran virus tersebut tidak bisa terbendung secara merata di seluruh penjuru dunia. Tentu saja setiap negara memiliki kewenangan tersendiri dalam menangani pandemi ini, tak terkecuali Indonesia.

Sejak ditemukannya kasus Covid-19 pada Maret 2020 yang lalu, Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Presiden Joko Widodo telah menerbitkan banyak kebijakan. Sederhananya, keadaan tersebut memaksa para penguasa bangsa ini bekerja secara esktra demi kelangsungan hidup masyarakatnya dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pasalnya, pertimbangan yang diambil oleh Pemerintah haruslah memerhatikan beberapa aspek di antaranya Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk aspek ekonomi, budaya, politik, dan lainnya. Terkhusus dalam aspek HAM tersebut memang sangat vital. Sebab HAM senantiasa melekat dalam diri setiap manusia pada situasi dan kondisi apapun.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) secara expressis verbis mengatur konsep HAM yang dianut oleh negara ini. Salah satu hak yang diatur dalam Konstitusi adalah tentang hak atas kesehatan. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Secara sederhana pasal tersebut mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara melalui Pemerintah dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan masyarakat. Secara hukum internasional, mengenai jaminan hak atas kesehatan tersebut diatur dalam Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) bahwa hak atas kesehatan dijelaskan sebagai “Hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental”. Pada sebuah Jurnal Ilmu Kedokteran yang berjudul “Hak Atas Kesehatan dalam Perspektif HAM” ditulis oleh Dedi Afandi menjelaskan bahwasanya dari berbagai penafsiran Pasal 12 ayat (1) ICESCR tersebut terdapat sebuah pembagian hak atas kesehatan, di antaranya terkait hak pencegahan penyakit epidemik dan endemik, hak fasilitas kesehatan, dan non diskriminasi. Kesemua hak itu merupakan hak atas kesehatan yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi kovenan tersebut. Indonesia sendiri telah meratifikasi ICESCR melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang  Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sehingga terdapat kewajiban moral bagi Pemerintah untuk memenuhi hak yang tertuang dalam ketentuan tersebut.

Sebelum membahas lebih jauh terkait trend yang terjadi di masyarakat pada hari ini, terlebih dahulu patut dipahami bahwa jaminan konstitusional terkait jaminan kesehatan telah diakomodir pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Seperti yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (4) UU HAM bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.  Perlu kita ketahui juga, konsep HAM pada dasarnya dibagi dalam 2 (dua) kelompok. D. F. Scheltens dalam bukunya yang berjudul “Mensenrechten” menjelaskan kedua hak tersebut. Menurut Scheltens, hak asasi yang berasal dari terjemahan Mensenrechten, ialah hak yang diperoleh seseorang karena dia manusia dan bersifat universal. Selain itu, hak ini bersumber dari Tuhan di mana manusia sebagai makhluk yang beragama, sehingga hak ini juga mempunyai sifat yang negatif atau negara tidak dapat ikut campur secara komprehensif dalam menyukseskan pelaksanaan hak tersebut atau istilah populernya non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi). Contohnya adalah hak hidup dan hak kodrati lainnya.

Baca Juga :  Benarkah Thermogun Bahayakan Otak? Cek Faktanya

Sedangkan hak dasar yang berasal dari terjemahan Grondrechten, ialah hak yang diperoleh seseorang karena menjadi warga negara dari satu negara, dengan demikian hak ini dikatakan sebagai hak yang bersifat positif di mana negara dapat ikut campur secara penuh dalam pemenuhan hak tersebut atau derogable rights (hak yang dapat dikurangi/ditangguhkan). Adapun bentuknya yaitu seperti hak ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan, serta hak-hak lainnya yang bersifat mendasar atau bersumber dari negara. Itulah yang perlu menjadi dasar pertimbangan kebijakan oleh Pemerintah dalam menangani pandemi yang terjadi hari ini.

Jika merujuk pada ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya hak atas kesehatan merupakan mutlak diperjuangkan oleh Pemerintah. Apatah lagi kesehatan menjadi salah satu aspek yang diperjuangkan oleh para pejuang HAM di dunia ini khususnya di Indonesia. Pemerintah boleh mengambil kebijakan yang sifatnya proporsional dan tentunya rasional dengan konsep HAM. Apabila suatu hari penguasa melanggar HAM maka patut diberikan kritik ataupun saran agar menyesuaikan dengan konsep yang ada.

Hari ini kita diperhadapkan dilematika pandemi Covid-19. Menurut data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan hingga 26 Mei 2020,  dari 216 negara terkonfirmasi 5.370.375 kasus, dan meninggal sebanyak 344.454 orang. Sedangkan menurut data Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memperlihatkan kasus positif  di Indonesia sebanyak 23.165 orang, sembuh 5.877 orang dan meninggal sebanyak 1.418 orang (Sumber: https://covid19.go.id/). Jika melihat data tersebut memang terlihat sangat miris bahkan tragis. Sebab, dari awal pandemi Covid-19 merebak di Indonesia terlihat labilitas kebijakan Pemerintah dalam menerbitkan kebijakan. Bisa dilihat dalam beberapa pemberitaan. Pemerintah awalnya mengatakan akan melakukan karantina wilayah (lockdown) kemudian diralat menjadi social distancing (pembatasan jarak sosial), lalu physical distancing (pembatasan jarak fisik), hingga pada akhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Beberapa kebijakan tersebut diterima dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Sebab otoritas tertinggi di negara ini untuk mengambil kebijakan memang berada dalam genggaman penguasa. Tetapi meskipun demikian, hak-hak masyarakat harus juga diperhatikan khususnya ketika meminta Pemerintah untuk segera melakukan lockdown.

Rakyat Indonesia memang hingga detik ini masih merasakan dilematis. Pasalnya, Pemerintah tak kunjung juga melakukan karantina wilayah atau lockdown. Padahal jika merujuk pada data yang ada, sudah sangat pantaslah negara ini menerapkan lockdown. Berkaca pada negara Malaysia yang telah menerapkan lockdown selama sebulan. Kebijakan lockdown tersebut diambil oleh Pemerintah Malaysia ketika kasus Covid-19 di Malaysia mencapai angka 533 yang kala itu menjadi negara dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara (Sumber: https://dunia.tempo.co/). Bila melihat fakta tersebut maka jelas miris negara ini. Malaysia yang kasusnya pada saat itu masih ratusan justru memilih lockdown agar menekan penyebaran Covid-19. Sedangkan Indonesia yang hari ini kasusnya telah mencapai ribuan masih saja menerapkan PSBB, bahkan Pemerintah telah merencanakan akan mengambil kebijakan pelonggaran PSBB tersebut.

Baca Juga :  Jubir Covid : Covid-19 di Beberapa Daerah Sudah Terkendali

Pemahaman tentang karantina wilayah atau lockdown  yang diterapkan oleh berbagai negara memang berbeda-beda. Akan tetapi, pada prinsipnya lockdown adalah menutup akses transportasi antar wilayah serta menjamin kebutuhan pokok masyarakat selama lockdown berlaku. Sebab karantina wilayah adalah wujud dari respon terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat. Sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bahwa  “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.” Sederhananya adalah Pemerintah memiliki tanggung jawab normatif dalam merespon pandemi yang ada. Apatah lagi Pemerintah telah menerbitkan sebuah keputusan tentang terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang kemudian disusul Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Sehingga secara sederhana terdapat dua keadaan yang terjadi pada hari ini yaitu kedaruratan kesehatan dan bencana nonalam.

Apabila melihat situasi dan kondisi di atas, maka sudah sepantasnya Pemerintah mengambil langkah yang lebih progresif dan efektif. Namun nampaknya keinginan masyarakat agar Pemerintah segera melakukan lockdown harus pupus di tengah jalan. Sebab baru-baru ini Pemerintah yang diwakili oleh Presiden Joko Widodo melakukan pelonggaran PSBB dengan mulai membuka mal-mal. Seperti yang dilansir detik.com bahwa pada hari Selasa 26 Mei 2020 mengunjungi mal di Bekasi dalam rangka mengecek persiapan “New Normal”. Hal tersebut bersesuaian dengan pernyataan dari Kabag Humas Pemerintah Kota Bekasi bahwa Presiden Joko Widodo mengunjungi Kota Bekasi dalam rangka persiapan penerapan prosedur new normal setelah PSBB berakhir (Sumber: https://news.detik.com/). Sebelumnya, Presiden Jokow Widodo dalam pidatonya pada 15 Mei 2020 memang telah menyinggung soal new normal. Presiden mengatakan bahwa kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah tersebut, itulah yang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru (Sumber: https://nasional.tempo.co/). Sebenarnya tindakan tersebut menurut hemat penulis justru akan menghasilkan pro kontra di masyarakat. Sebab, hingga detik ini kita masih merasakan dampak pandemi Covid-19 justru Presiden akan melakukan persiapan new normal dengan pertimbangan ekonomi.

New normal merupakan konsep yang ditawarkan oleh WHO dengan beberapa kriteria dan syarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi. Menurut Dr. Hans Henri P. Kluge (Direktur Regional WHO untuk Eropa) memberikan panduan untuk negara-negara Eropa yang hendak menerapkan new normal. Sebelum menerapkan new normal, Henri menuturkan ada yang harus dipastikan terlebih dahulu yaitu: a) terbukti bahwa transmisi Covid-19 telah dikendalikan, b) kesehatan masyarakat dan kepastian sistem kesehatan mampu untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji melacak kontak dan mengarantina, c) mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketata terhadap tempat yang memiliki kerentanana tinggi, terutama di rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental dan permukiman padat, d) pencegahan di tempat kerja ditetapkan, seperti jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, etiket penerapan pernapasan, e) risiko penyebaran imported case dapat dikendalikan, dan f) masyarakat ikut berperan dan terlibat dalam transisi (Sumber: https://grafis.tempo.co/).

Baca Juga :  Perubahan Tren Usai COVID-19 Diperkirakan Berdampak Positif bagi Sektor Pariwisata

Jika melihat syarat new normal  di atas, maka Indonesia sebagai negara yang terpapar Covid-19 belum memenuhi ketentuan tersebut. Pada poin pertama mengenai transmisi Covid-19 terkendali justru belum terlihat sama sekali. Hal ini karena kasus yang terjadi setiap harinya masih saja mengalami peningkatan jika memerhatikan data-data yang ada. Seharusnya sebelum membicarakan konsep new normal, Presiden Joko Widodo terlebih dahulu merenung dan mereflieksikan keadaan hari ini sebagai ancaman bagi manusia Indonesia. Kita memang mendambakan kehidupan normal seperti dahulu dan keadaan ekonomi yang stabil. Akan tetapi jangan melupakan HAM. Rakyat sudah banyak mengeluarkan opini bahkan berteriak diberbagai media sosial agar segera melakukan lockdown karena pandemi ini berpotensi hanya bisa dikendalikan bila lockdown diterapkan. Justru dengan adanya isu new normal tersebut semakin memberikan tanda jelas bahwa negara seakan lepas tangan dengan jaminan kebutuhan sosial saat lockdown berlaku. Padahal sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan sangat jelas bahwa karantina wilayah bisa diambil sebagai langkah merespon kedaruratan kesehatan. Kebijakan karantina wilayah juga akan membantu Pemerintah dalam mencapai pemenuhan kepentingan publik. Sebagaimana asas solus populi suprema lex esto (kesehatan masyarakat di atas segala-galanya termasuk di atas undang-undang).

Berbicara kesehatan masyarakat memang sangat pelik. Terlebih lagi ketika pandemi terjadi. Tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan sehingga HAM masyarakat tidak dipenuhi. Kendati kebijakan PSBB telah diambil, tapi fakta yang terjadi kasus Covid-19 masih saja mengalami peningkatan. Mengapa lockdown sangat enggan dijadikan sebagai langkah kebijakan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah? Tentu hal itu menjadi pertanyaan besar bagi bangsa ini. Namun, kita hanya bisa berharap semoga keadilan kesehatan senantiasa dipraktikkan oleh para penguasa. Keadilan yang dimaksud adalah memberikan jaminan kesehatan yang memadai dan mengambil kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengambil kebijakan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Covid-19 hanya bisa di atasi jika ada komitmen antara Pemerintah dan rakyat sebagai pelaku utama dalam dinamika pandemi ini. Oleh karena itu, penanganan Covid-19 adalah tanggung jawab bersama bukan hanya Pemerintah melainkan juga rakyat. Keadilan HAM hanya bisa dicapai apabila sinergitas antara aspirasi rakyat dan kebijakan Pemerintah bisa saling bertautan satu sama lain. Sebab keadilan adalah to render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).   

Penulis : M. Aris Munandar, SH. (Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Penulis Buku dan Dewan Pertimbangan Komisariat KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Universitas Hasanuddin Periode 2019-2020)

Baca artikel terbaru Sulselpedia di Google News