Sulselpedia.com – Kondisi manusia saat ini sebenarnya berada dalam era yang lebih baik dibandingkan dengan 10 sampai 20 tahun yang lalu. Hal ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru yang membuat metode lama yang turut berperan penting membangun peradaban selama ratusan tahun menjadi terlihat usang.
Pemikiran yang lahir dari “Ketakutan” akan nasib bumi dimasa depan telah menjadi isu menarik untuk dipecahkan bagi para akademisi, aktivis, hingga philanthropy di seluruh penjuru dunia. Pesimisme ini adalah hal lumrah karena melihat banyaknya praktik industrialisasi yang tidak ramah lingkungan dan tingginya angka ketidakpedulian masyarakat tentang keberlangsungan dan keberlanjutan lingkungan.
Sejak revolusi industri, negara-negara barat dengan segala teknologi dan sumber keilmuannya yang berkembang telah lebih awal mengkonsep dan menjalankan banyak gagasan baru yang lahir dari kegelisahan tentang bagaimana nasib bumi di masa depan ini.
Mereka sudah mulai lebih dulu sadar tentang apa yang disebut dengan konsep sustainability (keberlanjutan), dan untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan, mereka telah membuat gagasan-gagasan baru yang lebih pro-lingkungan. Salah satunya adalah konsep Circular Economy.
Ellen MacArthur pada tahun 2010 adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep Circular Economy. Konsep inovatif ini telah menjadi “Pendobrak” terhadap konsep manufaktur dan konsumsi tradisional yang tersistem linear dengan pola beli-gunakan-buang seperti saat ini.
Circular Economy berbeda dengan konsep yang lain, dimana gagasan ini berfokus pada pemanfaatan material yang bersumber dari proses daur ulang dan menekan terjadinya timbulan residu.
Konsep ini akan memicu responsibility dari para pelaku industri untuk memberikan dampak besar tidak hanya pada sustainability power pelaku industri itu sendiri, tetapi juga pada aspek Environmental Sustainability.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Circular Economy bisa diterapkan di Negara-negara berkembang, terutama Indonesia?
Ada tantangan besar dan mungkin juga cost yang tidak sedikit dalam upaya pengaplikasian konsep Circular Economy di Indonesia. Budaya dan sosial masyarakat tetap menjadi tantangan utama jika akan mengaplikasikan gagasan ini.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri akan banyak model bisnis yang perlu menyesuaikan dengan konsep Circular Economy. Dimana konsep tradisional yang selalu menekankan pada produktivitas akan dipaksa mengubah targetnya untuk tidak hanya mengejar cuan tetapi juga pada pencapaian Social Impact dari aktivitasnya.
Bagi sebagian besar industri hal ini akan memakan cukup banyak cost. Tetapi para pelaku UMKM ataupun teman-teman pelaku Start Up inilah yang dapat menggemakan sinyal optimisme dalam penerapan konsep Circular Economy.
Konsep ini tidak hanya menjadi kewajiban yang harus dipenuhi, tetapi dapat menjadi Core Value bagi teman-teman pelaku Start Up dan UMKM. Penerapan Circular Economy ini dapat memberikan potensi keuntungan downstream yang tidak dapat disepelekan.
Saat ini sebenarnya telah mulai bermunculan para Start Up dan UMKM yang sadar akan hal ini dan mengembangkan model bisnis mereka kearah yang lebih berpihak pada bumi. Namun, support dan kolaborasi hebat dari semua kalangan masyarakat sangat menentukan berhasil tidaknya mimpi ini.
Dari merekalah Indonesia dapat menjadi Poros Timur Circular Economy yang bersaing dengan industri negara-negara barat yang lebih dulu mengacu pada konsep ini. Inilah konsep masa depan yang akan menopang perekonomian dunia setelah lebih dari 2 dekade kita dibuai dengan hegemoni industri teknologi digital.
Kedepan, para pelaku industri tidak hanya akan bersaing dalam hal omzet dan kemutakhiran teknologinya saja, melainkan juga dalam pencapaian Impact Social diakibatkan tuntutan pasar yang telah sadar akan pentingnya menjaga bumi kita untuk masa depan.(*)
(*)Penulis: Iqra Putra Sanur (Founder Clean Up Indonesia)