SULSELPEDIA.COM, OPINI – Apa yang akan kita pikirkan ketika mendengar kata pencitraan? Politikus-politikus yang gemar PHP? Serigala berbulu domba? Para birokrasi fasis berwajah demokratis di media? Kira-kira seperti itulah yang kini sedang menyelimuti pikiran mahasiswa UNM terhadap birokrasi kampusnya dimasa pandemi Covid-19.
Ditengah pandemi Covid-19, dimana pembatasan sosial terjadi hampir diseantero Sulawesi Selatan- yang berujung pada semakin sulitnya masyarakat miskin mencari kerja demi makan, atau banjiran status sosmed galau golongan menengah keatas yang bosan dirumah, kini harus diperunyam lagi oleh pimpinan birokrasi UNM yang memanfaatkan masa Covid-19 sebagai sarana mendulang popularitas dalam konteks kebaikan.
Belum hilang dalam ingatan tentang kasus pemukulan wartawan kampus oleh pimpinan birokrasi sendiri, kini muncul lagi kejadian yang menggelisahkan hati mahasiswanya, yaitu dalam wujud berita hoax tentang pembagian kuota 30 GB kepada seluruh mahasiswa UNM.
Dilansir dari koran tribun timur terbitan 5 Mei 2020. Sebuah kolom berjudul 34 Ribu Mahasiswa UNM Terima Kuota, menerangkan bahwa pimpinan UNM mengeluarkan paket kuota untuk mahasiswanya selama belajar dirumah.
Kolom itu juga menyertakan wawancara mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNM. Dimana sang mahasiswa diceritakan mengaku bersyukur bisa mendapatkan kuota sehingga bisa membantu dalam pembelajaran dirumah. Berita ini tentu saja membuat bingung seluruh mahasiswa UNM yang belum mendapat kuota.
Setelah diselidiki lebih lanjut oleh pihak pengurus Lembaga Kemahasiswaan Fakultas terkait, ditemukan fakta bahwa mahasiswa yang tercantum namanya didalam kolom koran tribun timur tersebut, mengaku tidak pernah sama sekali diwawancarai oleh pihak media tersebut.
Beruntung, melalui berita media online tribun timur (6 Mei) berjudul “SOAL KUOTA GRATIS REKTOR UNM : Ini fakta dan kami bisa pertanggung jawabkan”, pihak birokrasi bisa lolos dari kemarahan publik setelah mengeluarkan klarifikasi, pembagian kuota masih pada tahap proses. Meski demikian, hal ini tentu belum bisa meredam kekesalan mahasiswanya yang sudah menunggu kebijakan ini sejak hampir sebulan yang lalu. Terhitung sejak dikeluarkannya Surat Edaran Rektor Poin 1C 8 April.
Lama dan berbelitnya proses pembagian kuota, diiringi dengan kencangnya kegiatan pencitraan media oleh pihak birokrasi kampus barang tentu membuat hati mahasiswanya merana. Bagaimana tidak, ketimbang berempati- memperhatikan mahasiswa yang tercekik beban kuota perkuliahan online, pihak birokrasi kampus malah asyik membuat video pencitraan bahkan sampai mengundang artis youtuber lokal.
Peristiwa dimana perilaku pimpinan birokrasi kampus mengundang nyinyir ini barangkali dapat digambarkan oleh sastrawan Ceko, Milan Kundera dalam novelnya Immortality. Dalam novel tersebut, Milan Kundera memperkenalkan sebuah istilah yang disebut imagologi.
Secara sederhana, imagologi dapat diartikan sebagai seni membuat gambaran nilai atau cita-cita yang melibatkan orang banyak tanpa perlu dikritik atau ditanya ulang kebenarannya.
Imagologi juga dapat dikatakan sebagai bentuk wajah baru dari ideologi. Sebab, baik ideologi maupun imagologi sama-sama menghadirkan bentuk imajinasi kenyataan semu yang seringkali mampu menutupi kenyataan/realitas sebenarnya.
Meski demikian menurut Kundera, “kenyataan lebih kuat daripada ideologi”. Hal itu tentu dapat kita temukan dalam hampir semua ideologi-ideologi usang yang satu persatu dilucuti oleh realitas. Konsep Kapitalisme yang dipercaya mampu membawa kesejahteraan namun nyatanya mencekik, Diktator Plorelariat yang katanya membawa kesetaraan tapi nyatanya melahirkan kelas baru birokrat elit, konsep agama yang diyakini membawa perdamaian tapi nyatanya jadi peperangan, adalah sedikit dari lusinan daftar contoh.
Ketika realitas meraih kemenangan gemilang terhadap ideologi, kemenangan realitas kemudian dilucuti dan beralih ke kemenangan imagologi. “Imagologi lebih kuat dari realitas”, ujar Kundela pula.
Kata imagologi, merangkum banyak hal. Presiden fasis yang dicitrakan demokratis, Birokrat langganan kasus HAM dicitrakan membawa misi kemanusiaan, preman berseragam yang dicitrakan sebagai pelindung & pengayom masyarakat, dan tentu saja ada banyak lagi imagologi disekitar kita yang bertujuan untuk mendulang popularitas dalam konteks kebaikan.
Imagologi muncul sebagai bayangan, menyugesti kesadaran dengan realitas semu melalui tampilan visual memikat.
Kekuatan imagologi yang kuat dan memikat, tentu patut diiwaspadai terkhususnya dalam tulisan ini, di kampus Universitas Negeri Makassar. Gagasan bahwa kampus harus menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa untuk segala golongan, baik kaya maupun miskin, harus digugurkan oleh UNM dengan alasan kenyataan bahwa biaya operasional fasilitas dan segala tetek bengeknya membutuhkan dana yang banyak. Syahdan, semakin sulitlah golongan miskin untuk mampu mengakses pendidikan di UNM.
Anehnya, seperti menyamarkan bau busuk bangkai dengan parfum, pihak birokrasi kampus begitu gencarnya mencitrakan dirinya sebagai kampus yang ramah terhadap mahasiswa-mahasiwanya yang kurang mampu. Contohnya, berita pembagian kuota.
Menurut dua ahli Psikologi Sosial, Robert A Baron & Donn Byrne melalui teori atribusinya, mereka berpendapat bahwa seseorang cenderung menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain hanya dengan melihat pada perilaku yang nampak. Jika mengacu pada kasus Imagologi ini, dimana masyarakat kurang bisa melakukan validasi terhadap berita dan segala informasi yang didapatkannya dengan turun langsung ke lapangan. Barang pasti masa pandemi Covid-19 ini menjadi keuntungan tersendiri bagi para pelaku imagologi. Mengingat, semakin tingginya ketergantungan masyarakat dalam mendapatkan informasi ketika isolasi diri dirumah.
Kesadaran kritis mahasiswa untuk ikut berpartisipasi melawan imagologi birokrasi kampus adalah hal wajib bukan saja untuk kepentingan mahasiwa itu sendiri, melainkan juga demi menjaga kampus agar tetap bebas dari agenda politik pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Penulis: Iqbal Ravsanjani. Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM.