Edward menambahkan letak kekhususan UU PKS ini karena kekerasan seksual selalu menyasar kelompok rentan, baik perempuan, anak, penyandang disabilitas, maupun laki-laki.
“Kekerasan seksual bukanlah bentuk kejahatan luarbiasa seperti genosida, tapi merupakan bentuk kejahatan serius atau graviora delicta. Maraknya kekerasan seksual mendorong diperlukannya tindakan segera/utama (premier remedium) untuk mencegah kekerasan seksual dengan menghukum dan memulihkan, bukan ultimum remedium yang menerapkan sanksi pidana seperti kejahatan pidana umum,” tegas Edward.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri, Kompol Ema Rahmawati menuturkan bahwa pada 2020, Bareskrim telah menangani 2.834 kasus persetubuhan, 1.804 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 1.518 kasus pencabulan. Ema juga menyampaikan adanya berbagai tantangan dan kendala terkait hukum acara dan pembuktian kasus.
“Dalam pembuktian kasus kekerasan seksual, saksi kunci adalah korban, dan sangat sulit untuk menghadirkan saksi lain karena masih belum samanya pemahaman penegak hukum, seperti perbedaan pandangan mengenai unsur-unsur pasal dan bukti-bukti. Kami tidak bisa bekerja sendiri, butuh kerjasama dan keterlibatan dari instansi terkait lainya dan seluruh dalam rangka memenuhi hak-hak korban melalui penegakan hukum dan pemulihan bagi para korban,” ungkap Ema.
Di samping itu, Wakil Ketual Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania menegaskan bahwa dalam proses peradilan, pentingnya mengadopsi konsep partisipasi korban, agar dapat berpartisipasi dalam proses persidangan.
“Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur victim impact statement, konsep ini bertujuan agar korban dapat memberikan pernyataan di persidangan terkait dampak yang dihadapinya, bagaimana peristiwa tersebut mengubah hidup para korban baik berupa tulisan maupun lisan,” ujar Livia.