Veni menuturkan berbagai peraturan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang ada, masih belum memadai dan belum mampu memberikan akses keadilan dan pemulihan efektif (effective remedies) bagi korban.
Veni juga meminta kepada Kemen PPPA untuk terus mendukung pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bersama Kementerian/Lembaga lain serta melakukan konsolidasi dengan masyarakat luas.
“Seluruh peraturan tindak pidana yang ada saat ini, belum mencakupi berbagai jenis kasus kekerasan seksual secara menyeluruh, termasuk belum lengkapnya hukum acara dan prosedur pembuktian kasus. Hal ini, tentu berdampak pada minimnya proses penegakan hukum yang seringkali berujung pada impunitas. Inilah kelemahan dari peraturan yang ada, sehingga membatasi dan menyulitkan para penegak hukum dalam memberikan akses keadilan dan pemulihan efektif bagi para korban, seperti masih adanya perbedaan perspektif di antara para aparat penegak hukum dan proses hukum acara yang masih konvensional,” jelas Veni.
Pada diskusi tersebut, hadir pula Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward OS Hiariej yang menekankan pentingnya RUU PKS dalam hukum pidana khusus.
“RUU PKS adalah hal yang urgent dan harus dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. RUU PKS juga harus menggunakan pendekatan pidana dan sosiologis, serta perlu dalam hukum pidana khusus dan komprehensif karena bukan hanya mengatur persoalan penindakan tetapi juga pencegahan, termasuk perlindungan pada korban sampai pada tahap rehabilitasi. Hukum acara pidana tidak bisa dilakukan secara konvensional,” ujar Edward.