OPINI  

Senioritas Merupakan Feodalisme yang Menyamar

Sulselpedia.com – Perguruan tinggi merupakan laboratorium ilmiah bahkan bagi sebagian akademisi, perguruan tinggi merupakan tempat yang sakral seperti halnya tempat-tempat ibadah bagi sebuah agama. Di dalam laboratorium ini seumpama rahim yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru, pemecahan masalah atau produk-produk pikiran yang meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup manusia.

Pendidikan merupakan hak bagi setiap individu merdeka yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar. Memperoleh pendidikan seyogyanya menjadi hal yang wajib hukumnya diberikan ruang seluas-luasnya bagi penyelenggara pendidikan di setiap tingkatan atau jenjang pendidikan bahkan di lingkungan keluarga dan lingkungan bermasyarakat.

Pemerintah negara dalam hal ini kementrian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi yang menaungi seluruh instansi pendidikan di setiap tingkatan harusnya lebih memperhatikan kasus-kasus kekerasan dalam setiap tingkatan instansi pendidikan.

Menurut Roem Topatimasang dkk. dalam buku pendidikan popular (2001) ilmu pengetahuan boleh jadi merupakan tenaga terkuat yang pernah dilihat umat manusia. Begitu kuatnya hingga ia adalah bukan apa-apa dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya.

Kekuatan dahsyat ilmu pengetahuan acap kali justru sangat membahayakan, khususnya bila digunakan oleh mahluk serakah, irasional dan kompulsif dengan penunjang peradaban yang tidak memadai seperti manusia.

Ketika kita kembali membaca sejarah sistem pemerintahan yang berlaku di indonesia sebelum kemerdekaan adalah merupakan sistem pemerintahan kerajaan atau dengan kata lain yaitu feodalisme, inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kesenjangan-kesenjangan sosial di masyarakat bahkan di lingkungan pendidikan sekali pun.

Ketika kita menelaah saat ini pun praktek-praktek pemikiran ini mengakibatkan pola pikir masyarakat menjadi kompleks. Tak luput dari itu dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi pun sedikit banyaknya menjalankan pola pemikiran seperti ini rasa superior yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain dapat ditemukan dalam kesehariannya.

Proses pendidikan baik yang berbentuk formal atau pun nonformal sebenarnya memiliki bagian yang sangat penting untuk melegitimasi bahkan mengesahkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menjadi kehidupan yang lebih adil. Kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan merupakan kecacatan dalam berfikir.

Baca Juga :  Soal dan Jawaban TVRI Kelas 1-3 Tanggal 21 Agustus 2020

Proses pendidikan dalam bentuk formal yaitu berbentuk sekolah yang berjenjang menjadi batasan-batasan dalam kehidupan sosial, hal ini mengakibatkan kesenjangan dalam kehidupan bermasyarakat semakin tinggi jenjang pendidikan yang di lalui semakin tinggi pula pandangan masyarakat pun sebaliknya mereka yang tidak sanggup mengeyam pendidikan tentu akan di pandang sebelah mata dan seumur hidup akan merasa seperti orang marginal.

Kemudian bentuk pendidikan nonformal yaitu berbentuk pelatihan hanya mempersiapkan sumber daya manusia untuk kepentingan-kepentingan tertentu dan untuk kebutuhan tertentu pula. Hal ini mengakibatkan terjadinya pola pikir untuk menjadi pekerja tanpa diberikan pengajaran-pengajaran yang lebih terkait kualitas kehidupan kedepannya.

Sejalan dengan itu menurut Freire, Pedagogy of the Oppressed (1972) menjelaskan bahwa pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisa bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami proses ‘dehumanisasi’.

Pendidikan sebagai bagian dari sistem tersebut di masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga golongan yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Menurut Bourdieu kekerasan simbolik di sekolah (2012) kekerasan ini terjadi disebabkan oleh adanya relasi kekuasaan yang timpang dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior baik dari segi moral, etis, agama, atau jenis kelamin dan usia.

Realistas di lembaga pendidikan, sering didengar banyak kata atau istilah untuk menggambarkan bagaimana bentuk dari kekerasan ini yang tentunya juga tidak terlepas dari hubungan bahasa dan budaya yang sering terjadi dalam pembelajaran di kelas. Kelas dominan (senior) melakukan penguasaan kepada kelas bawah (junior) menggunakan ideologi.

Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Baca Juga :  Soal dan Jawaban TVRI Kelas 1-3 Tanggal 24 November 2020

Senioritas menurut Siswoyo (2010) keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman serta usia, yaitu prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja atau bersekolah. Pemberian keistimewaan kepada yang lebih tua dikarenakan karakter orang yang lebih tua biasanya lebih bijak berpengalaman dan berwawasan luas. Senioritas berasal dari kata senior yang mempunyai pasangan kata Junior yang mana Senior sendiri berarti kakak, atasan yang dituakan. Sedangkan kata junior berarti kebalikannya yaitu adik, bawahan, yang lebih rendah. Kata senior yang ditambah dengan imbuhan ‘itas’ memiliki makna suatu bentuk perbuatannya.

Secara garis besar istilah senioritas dapat melahirkan tingkatan-tingkatan (strata) dalam kehidupan sehari-hari. Senioritas sering kali diartikan dengan kekerasan yaitu perbuatan dari orang yang berkuasa atau yang lebih tua kedudukannya terhadap bawahannya. Sebenarnya Senioritas tidak berarti kekerasan melainkan kekerasan adalah salah satu bentuk senioritas yang negatif.

Selanjutnya menurut Bourdieu kekerasan tidak selalu dalam bentuk fisik. Kekerasan bisa juga ditemukan dengan bentuk simbolik. Dengan kata lain, kekerasan simbolik bisa berwujud tindakan yang menghasut atau bahkan tidak dikenal sebagai kekerasan. Kekerasan simbolik bisa dikaitkan juga dengan usaha rekayasa untuk mendefinisikan kehidupan di sekitar kita yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lebih dominan.

Memberi nama atau lebel dan definisi realitas objektif merupakan tugas kelompok masyarakat yang diakui memiliki peran sah untuk melakukannya. Apalagi bila sistem ini dilaksanakan tanpa mempertimbangkan tingkat kapital kultural masing-masing individu yang oleh perbedaan kondisi sosialnya tidak mungkin diseragamkan.

Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elit atau kelompok atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk memaksaka ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang mendominasinya.

Budaya yang disebut oleh Bourdieu sebagai habitus berakibat kepada masyarakat kelas bawah. Mereka dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui atau mengamini bahwa habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya dibuang jauh-jauh. Kekerasan bentuk simbolik ketika kita telaah sebenarnya jauh lebih kuat pengaruhnya di bandingkan dengan kekerasan fisik, di karenakan kekerasan simbolik begitu melekat dalam tatanan kehidupan.

Baca Juga :  Terkait Kapan Belajar Tatap Muka di Sekolah Dimulai, Ini Penjelasan Kadisdik Kota Palopo

Dapat disimpulkan bawa kesenjangan-kesenjangan yang terjadi secara tidak sadar tibul dari lingkungan dan masyarakat itu sendiri. Fenomena ini yang harusnya kita kritisi dan benahi. Mengapa kekerasan di ruang linkup pendidikan sering ditemukan tentu saja merupakan pengaruh kurangnya kontrol sosial dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga, atau pun linkungan masyarakat.

Budaya menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda sering kalih di salah artikan dan menjadi dalih untuk mengabsahkan tindakan-tindakan kekerasan. Memperkuat pendidikan moral di berbagai lapisan tentu akan menjadi obat dan sangat penting untuk diajarkan, memahami peran dan fungsi masing-masing.

Terdapat 4 usur kontrol sosial menurut Hirschi (dalam Sulaiman, 2020) yakni attachment yakni keterlibatan seseorang kepada orang lain yang akan menimbulkan perilaku peduli dan mengetahui keadaan lingkungannya, commitment yakni ikatan seseorang dengan lembaga (sekolah, organisasi, pekerjaan, dan lain-lain) di mana ketika lembaga tersebut memberikan manfaat maka akan memperkecil kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang, involvement yakni kesibukkan individu dalam suatu kegiatan akan membuat individu tersebut tidak sempat memikirkan untuk berbuat menyimpang, beliefs yakni keyakinan individu terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat akan membuat individu tidak melakukan perilaku menyimpang.

Ketika kontrol sosial dalam suatu masyarakat tidak berjalan dengan baik maka akan menibulkan perilaku yang menyimpang. Selain itu kurangya kontrol sosial mengakibatkan individu akan bebas berperilaku sesuai apa yang di inginkannya. Oleh karena itu timbullah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh individu.

Sebagai kesimpulan semua unsur di setiap lapisan harus turut berperan dalam menjaga kesakralan pendidikan. Mampu memposisikan diri sebagaimana mestinya dan menjadi contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Kekuasaan sangat dekat dengan hegemoni, dan hegemoni sudah pasti memiliki kekuasaan.(*)

(*)Penulis: Firdaus Syamsuddin B. Merupakan mahasiswa angkatan 2017 JTIK Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar

Baca artikel terbaru Sulselpedia di Google News