“Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan kepercayaan bahwa ia bodoh.”
Sulselpedia.com – Demikian kata seorang ilmuan fisikawan terbesar dunia abad dua puluh, Albert Einsten. Mungkin kata-kata diatas merupakan ungkapan pembalasan Albert Einsten akan masa kecilnya yang kurang menyenangkan, dimana orang-orang disekolah menganggapnya sebagai anak yang bodoh- lambat berpikir di kelas. Einsten kecil, seperti anak-anak kecil lainnya adalah anak yang biasa-biasa saja dalam hal akademik dan bahkan cenderung menjadi anak yang sering bermasalah disekolah. Namun, hari ini berbeda dengan hari kemarin. Seluruh dunia kini mengetahui siapa Albert Einsten saat ini.
Belum lama ini kita memperingati hari “Perlindungan Anak Sedunia”. Tanggal 1 Juni dipilih sebagai hari “Perlindungan Anak Sedunia” atas kesepakatan 51 negara dalam Konfrensi Dunia untuk anak di Jenewa, Swiss pada tahun 1925. Yang kemudian juga disepakati oleh Federasi Demokrasi Wanita di Moskow 1949. Peringatan Hari Perlindugan Anak di rayakan guna menghormati hak-hak anak di seluruh dunia.
Berbicara mengenai perlindungan anak, tentu permasalahan yang masih krusial di Indonesia saat ini adalah kekerasan terhadap anak. KPAI atau yang biasa kita dengar kepanjangannya “Komisi Perlindungan Anak Indonesia” menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Hal ini disimpulkan dari hasil pantaunnya pada tahun 2012 dimana tercatat 3512 kasus kekerasan anak, tahun 2013 ada 4311 kasus, dan 2014 terdapat 5066 kasus. Itupun Kekerasan,yang tercatat barulah kekerasan dalam bentuk fisik. Padahal, bentuk Kekerasan masih ada banyak lagi jenisnya. Salah satunya kekerasan dalam bentuk psikologis. Kekerasan psikologis terwujud dalam bentuk pengurangan kemampuan mental atau otak karena perlakuan-perlakuan represif tertentu seperti ancaman, cemohan, menyalahkan, dan indoktrinasi (Sunarto,2009), serta kekerasan verbal berupa perkataan kasar dan menghina yang dapat menimbulkan perasaan malu, takut, dan rendah diri pada anak (Rosenthal,1998)
Para orang tua maupun guru di sekolah seringkali melakukan tindak kekerasan dalam bentuk psikologis kepada anak-anaknya. Hal tersebut dilakukan para orang tua kebanyakan justru bukan karena sudah tidak menyayangi anak-anaknya lagi, melainkan karena ketidaktahuan mereka akan cara yang tepat dalam mendidik anak-anaknya. Ketidaktahuan mereka akan makna kecerdasan misalnya. Para orang tua sering latah dalam menilai kecerdasan anak-anaknya. Marah, jika nilai rapor sang anak merah atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Marah, jika sang anak tidak dapat menjawab soal matematika dengan benar. Marah, jika sang anak tidak mau patuh pada kehendak yang lebih tua. Hal ini diperparah dengan kondisi Pendidikan di Indonesia yang terkesan kaku dan mengungkung kreativitas sang anak (Munif Chatib,2009). Sistem pendidikan Indonesia yang konon hanya mempersiapkan para siswa untuk menjadi robot-robot pekerja, melegitimasi makna kecerdasan. Hanya siswa-siswa yang memenuhi minat pasar SDM perusahaanlah yang dianggap “Cerdas”. Alhasil, siswa-siswa yang justru memiliki kompetensi di bidang lain akan teralienasi dalam pendidikan dikelas. Hal ini tentu tidaklah bagus, sebab siswa-siswa yang teralienasi ini bisa saja merasa bodoh, rendah diri dan malu dalam menghadapi kehidupannya khelak.
Albert Einsten merupakan salah satu contoh kasus orang besar yang dulunya teralienasi dalam sistem pendidikan. Selain itu ada juga Thomas Alva Edison dan Agatha Christie. Kasus ini tentu memaksa kita untuk berpikir kembali, masih patutkah kita memberlakukan sistem pendidikan saat ini, yang notabenya merupakan alat para kaum kapitalis untuk menjadikan anak kita khelak sebagai robot-robot pekerja ? mungkin jawabannya kembali kepada diri masing-masing.
Makna Kecerdasan Yang Sesungguhnya
Dalam perpektif psikologi pendidikan sendiri, John W. Santrock dalam bukunya Psikologi Perkembangan Anak, menjelaskan bahwa belum ada makna final mengenai kecerdasan. Beberapa ahli mendeskripsikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Ahli lain mendekripsikannya sebagai kapasitas beradaptasi dan belajar dari pengalaman. Ahli lain berpendapat bahwa kecerdasan meliputi karakteristik seperti kreativitas dan keahlian interpersonal. Beberapa ahli teoritikus mengenai kecerdasan sudah ada yang mengeluarkan pengukuran tes kecerdasan, seperti Binet-Simon dengan tes IQ nya, Daniel Goleman dengan tes EQ nya, dan Howard Garner dengan tes Multiple Intellegencenya.
Berbeda dari para teoritikus kecerdasan lainnya, yang hanya memandang kecerdasan secara dangkal dari aspek kognitif dan emosi nya saja. Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind : Teori Multiple Intellegence (1983), menjelaskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan suatu masalah dan kemampuan untuk menciptakan suatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya. Gardner menetapkan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan kecerdasan dasar ( Thomas Amstrong, 2002 ) adapun delapan kecerdasan itu yakni :
- Verbal-Linguistik : kemampuan dalam hal sensitivitas mengenai bahasa
- Logis-Matematis : kemampuan untuk berpikir konseptual-abstrak dan matematis.
- Visual Spasial : berpikir secara gambar visual-bangun ruang, menggambarkan hal abstrak.
- Musikal : Kepekaan terhadap suara dan hubungannya dengan emosi, mengerti music.
- Kinestetik : Kemampuan dalam mengontrol pergerakan tubuh, dan mahir dalam olahraga.
- Interpersonal : kemampuan untuk bersosialisasi kepada orang lain dengan baik.
- Intrapersonal : kemampuan untuk mengenali dan mengontrol diri sendiri, motivator.
- Naturalis : kemampuan untuk memahami alam dan lingkungan, berinteraksi dengan hewan dan tumbuhan.
Bagi Gardner, kecerdasan yang dipaparkannya itu masih belum final. Sebab ia percaya masih ada banyak kecerdasan dalam diri manusia yang belum terekspos. Yang artinya, ia menghormati setiap kemampuan yang terdapat dalam diri setiap anak.
Semoga, setelah kita memahami teori multiple intelligences ini, kita akan lebih bijak khususnya saat menjadi orang tua dimasa mendatang. Dan semoga sistem pendidikan di Indonesia yang masih tercekoki budaya neoliberalisme, dapat berubah. Sehingga anak-anak kita tidak perlu lagi dipaksa untuk menjadi robot-robot pekerja, melainkan manusia yang mampu memaksimalkan potensinya.
Referensi:
- Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan & Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
- John W. Santrock. 2007. Perkembangan Anak Jilid :1. Jakarta: Penerbit Erlangga
- Munif Chatib. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Penerbit Kaifa.
- Howard Gardner. 1993. Frames Of Mind: The Theory Of Multiple Intellegences. New York : Basic Books
Penulis: Iqbal Ravsanjani. Mahasiswa Fakultas Psikologi UNM, angkatan 2015.