MAKASSAR, Sulselpedia.com –Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) menolak biaya low sulphur surcharge (LSS) oleh perusahaan pelayaran pengangkut kontainer. Kewajiban ini bikin biaya logistik meninggi sebagai bentuk dari penyesuaian tarif.
Alasan penambahan tarif/surcharge disebutkan sebagai penyesuaian kewajiban penggunaan bahan bakar rendah sulfur sesuai surat edaran Direktorat Jenderal Perhubungan Laut No.SE.35 Tahun 2019.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Sulselbar, Syaifuddin Saharudi, mengatakan, pengenaan biaya tambahan tersebut berdampak terhadap volume pengiriman barang khususnya di Terminal Petikemas Makassar dan pada umumnya di seluruh pelabuhan Indonesia.
“Pengusaha menahan diri untuk mengirim barang karena kesulitan menentukan tarif, ini mengakibatkan distribusi logistik terhambat,” jelas pria yang akrab disapa Ipo tersebut, Senin (13/1/2020).
Dia menjelaskan, jika ini tetap dibiarkan, akan terjadi inflasi atas dampak sirkulasi logistik yang terbengkalai.
“Ekonomi akan melemah, karena ekononi satu negara pasti ditunjang oleh distribusi logistik yang efektif dan efisien.”
Menurut Ipo, penerapan low sulphur yang dijadikan alasan penambahan tarif, tidak tepat dimanfaatkan oleh perusahaan pelayaran. Pasalnya, lanjut dia, surcharge hanya dapat diterapkan jika ada pengawasan atau handling khusus oleh kapal.
Lanjutnya, penambahan tarif pengangkutan kontainer tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menekan biaya logistik.
“Pada satu sisi kita ingin memotong cost logistik, tapi di sisi lain, dipersulit dengan biaya tambahan seperti ini,” ujarnya.
Dia berpandangan, tarif tambahan ini terlalu tinggi. Contohnya rute Makassar-Surabaya, mencapai Rp400.000 hingga Rp500.000 per kontainer, bahkan jalur Makassar-Maluku tembus Rp1 juta.
“Perlu adanya sosialisasi dan pembahasan yang melibatkan seluruh stakeholder sehingga dapat terjadi kesepakatan tarif pengangkutan terkait kewajiban penggunaan bahan bakar low sulfur ini,” tandasnya.
Sementara, Ketua Umum ALFI, Yuki Nugrahawan Hanafi menegaskan, aturan ini memang sesuai IMO (Era IMO International Maritime Organization) 2020, hanya saja, Yuki menilai struktur komponen biaya tidak tepat.
“Pelaku logistik kaget saja, kok masuknya ke surcharge padahal tidak ada hubungannya dengan pelabuhan. Kita sih berpikirnya masuk ke freight. Kalau ke tarif jelas aja ke freight. Perubahan struktur biaya ini yang kita minta,” tegasnya.
Yuki juga mempertanyakan pola pengawasannya. Baik terhadap efektivitas penggunaan bahan bakar rendah sulfur termasuk ketersediaan produknya.
Selain itu, tambah Yuki aturan ini juga dinilai minim sosialisasi. Beberapa DPW ALFI di tanah air, khususnya di Kalimantan, Papua dan Sulawesi sebagai wilayah yang paling merasakan kenaikan tarif tersebut.
Sekadar diketahui, surat edaran Dirjen Hubla No. SE.35/2019 menyatakan bahwa setiap kapal baik berbendera Indonesia maupun kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur senilai maksimal 0,5 persen m/m.
Surcharge dikenakan terhadap kapal yang belum memenuhi ketentuan tersebut dan kemudian biaya itu dibebankan lagi ke pebisnis logistik.
Kewajiban menggunakan sulfur rendah itu merujuk pada sejumlah aturan di antaranya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (Marpol Convention) Annex VI Regulation 14 dan IMO Resolution Marine Environment Protection Committee (MEPC) 307(73) : 2018 Guidelines for the Discharge of Exhaust Gas Recirculation (EGR) Bleed-Off Water.
Kemudian juga merujuk pada Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan PM No. 29/2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim dan Surat Edaran Dirjen Hubla No. UM.003/93/14/DJPL-18 tanggal 30 Oktober 2018 tentang Batasan Kandungan Sulfur Pada Bahan Bakar dan Kewajiban Penyampaian Konsumsi Bahan Bakar di Kapal. (rls)