Sulselpedia.com – Ombudsman RI hingga akhir 2019 menemukan adanya indikasi rangkap jabatan komisaris dengan jumlah cukup besar di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rangkap jabatan ditemukan di 397 pada BUMN dan 167 di anak usaha BUMN.
Dari 397 orang dimaksud, Komisaris terindikasi rangkap jabatan yang berasal dari Kementerian mencapai 254 orang (64%), dari Lembaga Non Kementerian mencapai 112 orang (28%), dan dari Perguruan Tinggi 31 orang (8%).
Untuk instansi asal kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58%, yaitu: Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).
Untuk instansi asal Lembaga Non Kementerian, 65% didominasi oleh lima instansi, yaitu: TNI (27), POLRI (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang). Sedangkan untuk instansi asal Perguruan Tinggi, tercatat seluruhnya berasal dari 16 Perguruan Tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (5 orang).
Polemik rangkap jabatan ini meningkat dan juga dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta. PP tersebut diubah menjadi PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik. Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan.
Di sisi lain adanya regulasi yang melarang rangkap jabatan juga berlaku. Misalnya dalam UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melarang pelaksana pelayanan publik merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi badan usaha. Dalam implementasinya kemudian argumentasi yang sering digunakan adalah perbedaan istilah jabatan yang melekat pada penyelenggara sebagai alasan rangkap jabatan, bukan pada etika atau kepatutannya.
“Ombudsman berpendapat bahwa pembiaran benturan regulasi tersebut telah menghasilkan ketidakpastian dalam proses rekrutmen, pengabaian etika, konflik kepentingan, diskriminasi, dan akuntabilitas yang buruk,” ujar Alamsyah.
Dalam tatanan operasional, terdapat beberapa hal krusial yang berpotensi maladministrasi dalam rekrutmen Komisaris BUMN. Beberapa hal tersebut adalah: konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian, akuntabilitas kinerja komisaris. Pada gilirannya hal ini jelas dapat memperburuk tatakelola, menurunkan kepercayaan publik dan mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BUMN.
Ombudsman memandang proses rekrutmen Komisaris BUMN ini akan terus mengundang polemik kecuali pemerintah melakukan perbaikan secara fundamental.Untuk itu, terkait perbaikan hal-hal yang bersifat fundamental Ombudsman akan menyampaikan saran tertulis kepada Presiden RI, dan sejumlah masukan di tataran operasional kepada Menteri BUMN,” pungkas Alamsyah.(*)