SULSELPEDIA – Suasana Aula Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan tampak semarak saat puluhan peserta dari berbagai kalangan—akademisi, mahasiswa, aktivis sosial, hingga ketua asosiasi memenuhi ruangan untuk mengikuti Dialog Ilmiah 2025 yang diinisiasi oleh Komunitas Literasi BisaBaca dan Forum Akademisi Muslim Indonesia (FAMI) Kota Makassar.
Kegiatan digelar pada Minggu, 20 Juli 2025 mengambil tema “Perkembangan Sains dan Teknologi Modern serta Tantangan dan Posisi Strategis Indonesia dalam Geopolitik Global”.
Ketua Komunitas Bisabaca, Yusuf Uno mengatakan, forum ini menjadi ruang strategis untuk mengkaji masa depan bangsa dalam lanskap digital yang terus berubah cepat.
Sejak awal kegiatan, antusiasme peserta begitu terasa. Dialog ini menghadirkan dua narasumber utama yang menyuguhkan perspektif mendalam, tajam, dan inspiratif.
Pemaparan pertama disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan sekaligus Ketua Forum Doktor Sosiologi, Abd. Malik Faisal. Ia menekankan bahwa di tengah derasnya arus disrupsi digital, ketahanan sosial merupakan fondasi penting agar masyarakat tidak tercerabut dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
“Teknologi yang tidak diimbangi dengan keadilan hanya akan memperdalam ketimpangan. Digitalisasi tidak boleh menjadi alat eksklusi sosial,” tegas Malik.
Lebih lanjut, ia menggarisbawahi perlunya distribusi akses dan manfaat teknologi secara merata, agar transformasi digital tidak menambah jurang antara yang terakses dan yang terpinggirkan.
Selanjutnya, Peneliti Ahli Utama BRIN, Fahmi Amhar, memaparkan dinamika perkembangan teknologi global—khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI), energi terbarukan, dan geopolitik digital. Ia menjelaskan bahwa teknologi kini telah mencapai titik di mana kemampuannya mulai melampaui kecerdasan manusia itu sendiri.
Namun di balik kemajuan tersebut, Fahmi juga mengingatkan akan tantangan besar dalam hal kedaulatan digital, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih sangat bergantung pada teknologi asing.
“Indonesia tidak boleh sekadar menjadi pengguna. Kita harus mampu menjadi pencipta teknologi yang mandiri,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya literasi teknologi dan diplomasi sains sebagai bagian dari strategi nasional menghadapi persaingan global.
Diskusi yang dipandu oleh Dosen ITB Nobel Indonesia, Bahrul Ulum Ilham berlangsung dinamis dan reflektif. Berbagai pertanyaan kritis dari peserta bermunculan, mulai dari isu kesiapan sumber daya manusia, peran generasi muda, hingga pendekatan teknologi dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Forum ini tidak sekadar menjadi ruang tukar gagasan, tetapi juga menjadi ajang menyatukan sains, kebijakan, dan nilai kemanusiaan dalam satu panggung diskusi strategis—sebuah langkah kecil yang berarti dalam menyiapkan arah masa depan bangsa.(*)